Lelah Gen Z: Kehidupan Sunyi di Tengah Gelar dan Kesempatan yang Tidak Terbuka

Pendidikan Tinggi dan Janji Kemakmuran yang Retak

Selama beberapa dekade, pendidikan tinggi dan kerja keras dianggap sebagai kunci menuju kemakmuran di Asia. Warisan ini diteruskan dari generasi ke generasi: belajar dengan sungguh-sungguh, meraih gelar, lalu masuk dunia kerja yang stabil. Namun kini, janji itu mulai retak. Gelar S1 atau bahkan S2 tidak lagi menjamin panggilan kerja, apalagi masa depan yang cerah.

Saya menyaksikan perubahan ini bukan dari jauh, melainkan dari dalam keluarga sendiri. Putra kedua saya, seorang Gen Z sejati, lulus sarjana teknologi lingkungan tahun 2024 dari kampus ternama. Ia aktif sebagai asisten dosen, ikut dalam tim riset kampus, dan mengambil sertifikasi tambahan. CV-nya rapi, idealismenya tinggi. Tapi panggilan kerja tak kunjung datang. Akhirnya, ia bergabung dengan konsultan lingkungan kecil, tetap sesuai bidangnya, tapi jalannya sunyi. Bukan karena kurang kompetensi, tapi karena sistem belum mampu mengenali potensi yang tidak “berisik”.

Apa Itu Lying Flat?

Lying flat atau tang ping adalah istilah yang muncul di Tiongkok pada 2021. Ini bukan sekadar gaya hidup santai, melainkan bentuk protes sosial terhadap sistem kerja dan ekspektasi hidup yang dianggap tidak realistis dan melelahkan. Anak muda yang memilih lying flat menolak tekanan untuk bekerja berlebihan, mengejar kesuksesan material, serta memenuhi tuntutan sosial yang tidak seimbang.

Penyebab utama tren ini:
* Budaya kerja ekstrem seperti “996” (jam 9 pagi hingga 9 malam, 6 hari seminggu)
* Harga rumah yang tak terjangkau
* Tuntutan untuk menikah dan menopang orang tua
* Kekecewaan terhadap stagnasi mobilitas sosial

Ciri-ciri gaya hidup “lying flat”:
* Menolak ambisi materialistis
* Fokus pada kebutuhan dasar
* Mengurangi konsumsi dan interaksi sosial
* Menarik diri dari kompetisi yang dianggap tidak sehat

Fenomena Serupa di Korea dan Jepang

Di Korea Selatan, muncul istilah geunyang swim atau just resting, yaitu anak muda yang memilih berhenti sejenak dari kuliah, kerja, dan tekanan sosial. Tahun ini, lebih dari 420.000 anak muda Korea berusia 20-an mengaku sedang “beristirahat,” naik hampir 60% dibanding satu dekade lalu.

Di Jepang, lahir istilah Satori Sedai, generasi tercerahkan yang melepaskan ambisi. Mereka tidak lagi mengejar mobil, rumah, atau jabatan tinggi. Mereka memilih kepuasan sederhana: menyeruput kopi di minimarket, menonton anime, dan menjalani pekerjaan tetap tanpa tekanan.

Indonesia: Sunyi yang Belum Bernama

Di Indonesia, gejala serupa mulai tampak meski belum diberi istilah formal. Banyak lulusan S1 dan S2 kesulitan mendapat pekerjaan tetap. Bahkan untuk sekadar dipanggil mengikuti tes seleksi kerja pun terasa seperti undian langka.

Data BPS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka tertinggi justru berasal dari kelompok berpendidikan tinggi. Di sisi lain, pekerjaan informal dan freelance semakin marak, bukan karena pilihan, tapi karena sistem formal terlalu sempit dan birokratis.

Gen Z Indonesia tidak kekurangan life skill. Mereka justru sedang mencari cara bertahan di dunia yang tidak lagi memberi ruang untuk tumbuh secara sehat.

Dampak Sosial dan Psikologis

Fenomena lying flat membawa dampak multidimensi:
* Psikologis: Munculnya rasa kecewa, tidak dihargai, dan kehilangan arah. Banyak anak muda merasa “gagal” padahal mereka hanya hidup di sistem yang tidak adil.
* Sosial: Perubahan pola interaksi dari kompetisi ke komunitas. Munculnya minat pada kerja fleksibel, usaha kecil, dan gaya hidup minimalis.
* Ekonomi: Lonjakan pengangguran terdidik dan ketimpangan antara pendidikan dan peluang kerja.

Refleksi Pribadi: Mereka Tidak Defisit, Mereka Sedang Bertahan

Putra saya bukan satu-satunya. Banyak anak muda hari ini yang sudah menyelesaikan pendidikan tinggi, punya etos belajar, dan idealisme tinggi, namun tetap kesulitan masuk ke sistem kerja formal. Mereka tidak malas. Mereka hanya menolak untuk terus berlari dalam lomba yang tidak adil.

Mereka tidak defisit. Mereka hanya hidup di era yang berbeda, dengan struktur peluang yang tidak seragam. Ketika loyalitas tak lagi sepihak, banyak anak muda justru dihadapkan pada kontrak jangka pendek, tanpa tunjangan, tanpa kepastian.

Mereka disebut “gampang resign,” padahal yang mereka hadapi adalah dunia kerja yang juga “gampang buang.” Mereka tidak takut kerja keras. Mereka hanya lelah bekerja di tempat yang tak yakin mau mempertahankan mereka.

Fenomena lying flat bukan tentang kemalasan, tapi tentang keberanian untuk tidak bertahan di sistem yang tidak memberi ruang tumbuh. Gen Z tidak defisit. Mereka sedang bertahan, mencari makna, dan membangun ulang definisi sukses dengan cara mereka sendiri.

Dan mungkin, di tengah sunyi mereka, kita semua sedang diajak untuk mendengar ulang. Bahwa loyalitas bukan kewajiban sepihak, tapi hasil dari kejelasan, keadilan, dan rasa aman yang dibangun bersama.

Penutup: Sunyi Mereka Adalah Cermin Kita

Fenomena lying flat bukan akhir dari produktivitas. Ia adalah awal dari pencarian makna baru. Gen Z tidak menyerah, mereka hanya menolak untuk terus berlari dalam sistem yang tidak memberi ruang untuk bernapas.

Dan jika kita tidak mendengarkan, kita akan kehilangan generasi yang sebenarnya sedang berjuang dengan cara mereka sendiri. Di tengah tuntutan profesionalisme, kita perlu bertanya: Apakah kita sedang membangun sistem kerja yang memberi ruang untuk tumbuh, atau hanya memoles permukaan dengan janji-janji yang tak lagi berlaku?