SPPG Hanya Boneka, Program MBG di Banyumas Diatur Pihak Berkuasa
Evaluasi Program Makan Bergizi Gratis di Kabupaten Banyumas
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dikelola di Kabupaten Banyumas kini mulai menghadapi berbagai tantangan. Evaluasi terhadap program ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar yang perlu segera diselesaikan, terutama terkait peran dan tanggung jawab dari berbagai pihak yang terlibat.
Struktur Mitra dalam Program MBG
Menurut aturan Badan Gizi Nasional (BGN), terdapat dua kategori mitra dalam pelaksanaan program gizi, yaitu mitra Non Yayasan dan mitra dengan yayasan. Mitra non yayasan meliputi berbagai entitas seperti Perseroan Terbatas (PT), Commanditaire Vennootschap (CV), Koperasi, Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta Instansi Pemerintahan. Sementara itu, mitra yayasan merupakan badan hukum yang memiliki tanggung jawab utama dalam pengelolaan dan pencairan dana program.
Mitra jenis ini juga bertindak sebagai penghubung strategis antara pendanaan dan pelaksanaan kegiatan di lapangan. Namun, hal ini tidak selalu berjalan lancar karena adanya ketidakjelasan peran dan batasan antara yayasan dan mitra.
Kekhawatiran dari Koordinator MBG
Koordinator MBG Banyumas, Luky Ayu, menyampaikan kegelisahan yang dirasakan oleh para pengelola Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) di lapangan. Ia menilai bahwa SPPG sering kali hanya menjadi pelaksana tanpa ruang kendali dalam sistem yang dikoordinasikan oleh yayasan dan mitra.
“Sebenarnya kita sudah melakukan hal itu tetapi mitra dan yayasan masih ngeyel,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Penyelenggaraan Program MBG di Banyumas bersama Tim Pemantauan Sekretariat Negara. Ia menegaskan perlunya kejelasan batas peran antara yayasan dan mitra agar SPPG dapat bekerja secara efektif.
Luky juga meminta agar tugas Satgas MBG di Banyumas diperjelas karena banyak persoalan yang muncul akibat minimnya petunjuk teknis dan tumpang tindih peran. “Kami membutuhkan juknis yang lebih detail lagi,” tegasnya.
Masalah Evaluasi Program
Salah satu sorotan utama adalah mekanisme evaluasi program. Selama ini, yang dievaluasi hanya SPPG, padahal mereka hanyalah pelaksana teknis yang mengelola anggaran. “Evaluasi mitra dan yayasan pengelola MBG. Karena sejauh ini yang dievaluasi hanya kami dari pihak SPPG. Sedangkan kami hanya menjalankan tugas dan mengelola anggaran,” ujarnya.
Ia menilai bahwa jika ada pihak SPPG yang menyalahgunakan wewenang harus ditindak. Namun, menurutnya, persoalan utama justru berada di level atas. “Silahkan kalau ada SPPI yang nakal ditindak, tapi tidak sedikit juga ada mitra atau yayasan yang mereka itu nakal. Jadi ini perlu dievaluasi,” katanya.
Tidak Ada Wadah Khusus untuk Evaluasi Mitra dan Yayasan
Menurut Luky, sejauh ini Badan Gizi Nasional (BGN) belum memiliki wadah khusus untuk melakukan evaluasi terhadap mitra dan yayasan. Padahal, wadah semacam ini sangat dibutuhkan agar perbaikan tata kelola bisa dilakukan menyeluruh.
“Selain itu sejauh ini BGN juga belum punya wadah mengevaluasi mitra, tapi ini sangat dibutuhkan untuk evaluasi ke depan,” tambahnya.
Mitra dan Yayasan Bukan Orang Biasa
Luky mengungkapkan bahwa sebagian besar mitra dan yayasan yang terlibat dalam program MBG bukan pihak biasa. “Seperti yang kita ketahui mitra atau yayasan dimiliki oleh ‘bukan orang biasa’. Mereka memiliki peranan yang sangat besar. Oleh karena itu pihaknya mengakui mendapat tekanan yang luar biasa di lapangan,” ungkapnya.
Karena itu, Luky kembali menegaskan pentingnya kejelasan batasan antara mitra dan yayasan agar sistem berjalan dengan profesional. “Yang paling penting menurutnya adalah batasan antara mitra dan yayasan. Agar kami dapat menjalankan program ini dengan baik,” ujarnya.
Masalah Komunikasi dan Manajemen
Kurangnya komunikasi antar pihak membuat kinerja di lapangan tidak efisien. Bahkan, SPPG sering kali kesulitan dalam mengatur manajemen dapur dan keuangan tanpa dukungan ahli dari pihak mitra. “Terkadang kurangnya komunikasi membuat para kepala SPPG menjadi bekerja kurang efektif dan efisien. Sedangkan di dapur kami juga butuh bantuan dari mitra yayasan ahli gizi dan akuntan,” jelasnya.
Masalah Harga Bahan Baku dan Menu Makanan
Salah satu persoalan teknis yang juga disoroti adalah soal harga bahan baku dan menu makanan. Menurut Luky, pihaknya selalu berkomunikasi dengan mitra dan yayasan untuk menyesuaikan harga sesuai standar yang ditetapkan pemerintah daerah. “Kami tetap komunikasi dengan mitra dan yayasan mengenai harga. Tapi kami juga ada standarnya seperti yang dipatok oleh Disperindag yang dilihat di Sigaokmas.”
Perbedaan harga antar supplier sering kali menimbulkan perbandingan antar SPPG dan memicu ketegangan di lapangan. “Sehingga banyak SPPG yang mematok tarif yang berbeda-beda tergantung suppliernya. Kami mengharapkan evaluasi. Karena yang kena lagi adalah SPPG-nya misalkan membandingkan menu, bagaimanapun kita membawahi 49 orang,” ujarnya.
Kendala Pendanaan
Beberapa SPPG masih belum beroperasi penuh akibat kendala pendanaan, termasuk SPPG Purwodadi, Kecamatan Kembaran yang hingga kini belum berjalan. “Pihaknya menambahkan SPPG Purwodadi masih tutup karena pendanaan. Bahwa sebenarnya kondisi sistem tersebut banyak dialami SPPG,” katanya.
Meski begitu, beberapa SPPG tetap berusaha bertahan dengan menggunakan dana yang ada sambil menunggu pencairan anggaran. “Sebenarnya kondisi banyak karena kami masih memiliki dana, dan kami sanggup berjalan dan toh nantinya juga akan dibayarkan sebenarnya. Jadi gak cuma satu atau dua, habis itu nanti ada dana lagi, dan tidak diprediksi kapan. Kalau kita tetap jalan beberapa hari nanti ada dana lagi. Nunggu biasanya,” katanya.